Ahad Karim, 01 Agustus 2021
Wahai saudaraku berpegangteguhlah pada syari'at Nabi yang memerintahkan:
- "amar ma'ruf nahi munkar",
- tinggalkan rumor dan buruk sangka
kepada jama'ah tarekat (ahli lā ilāha illā Allāh). Sungguh! Syariat Nabi itu secara tegas melarang berburuk sangka, memata-matai, menggunjing, dan adu domba. Janganlah menjalankan prinsip yang belum engkau kuasai ilmunya. Juga jangan suka memviralkan aib orang-orang beriman.
Begitulah pesan syaikh Abdul Ghani dalam bab ini.
وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ
"...berdialoglah terlebih dahulu dalam menjalankan prinsip-prinsip kebaikan..." (QS. At-Thalaq: 06)
Menjalankan amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh hanya berdasarkan opini pribadi tetapi harus didialogkan dengan elemen-elemen yang terlibat dalam masyarakat. Itulah pesan tersirat dari ayat tersebut. Seandainya ajaran "amar ma'ruf nahi munkar" itu tidak membutuhkan dialog, sehingga ayatnya bukanlah:
"واليأمر بعضكم بعضا بمعروف"
"sebagian kalian hendaknya memerintahkan kebaikan kepadabyang lain".
Syaikh Abdul Ghani sebenarnya hendak memberi perspektif "amar ma'ruf nahi munkar" itu tidak mudah dan perlu mengakomodasi unsur-unsur yang terlibat jika kebijakan itu terapkan.
Itu sesuai namanya yaitu "amar ma'ruf" yang artinya mengajak melakukan kebaikan sesuai dengan teknik yang sesuai dengan yang diajak baik.
Benar saja Nabi bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه
"Jikalau seseorang melihat aktivitas munkar, maka ubahlah dengan tanganmu (kemampuanmu), jika tidak mampu maka cegahlah dengan lisanmu (doakan)."
Syaikh Abdul Ghani melihat bahwa hadis tersebut melibatkan 3 elemen masyarakat yaitu:
- Pemegang Otoritas (al-hukam),
- Ahli Etika ('ulama)
- Masyarakat (al-'awam)
Pemegag otoritas dengan kekuasaannya menetapkan kebijakan. Ulama menyampaikan etika pelaksanaan kebijakan. Sedangkan masyarakat dengan kesadarannya menerima dan melaksanakan kebijakan.
Semua kebijakan "amar ma'ruf nahi munkar" itu di terapkan berdasarkan fakta dilapangan tidak boleh berdasarkan asumsi.
Murabbī Rūhinā Sidi Syaikh Muhammad Nizam Asshafa memberikan contoh ketika Nabi Ibrahim yang mampu melihat aktivitas orang yang dilakukan oleh seseorang. Lantas beliau berdoa agar mereka di binasakan. Lantas Allah memperingatkan Ibrahim bahwa mereka adalah hamba-hambaNya sementara Nabi Ibrahim itu Nabi yang doanya di ijabah. Maka jika Nabi Ibrahim berdoa seperti itu hambaKU akan habis. Berbelaskasihlah wahai Ibrahim.
Artinya jika hendak menerapkan "amar ma'ruf nahi munkar" maka harus berdasarkan bukti dan fakta di lapangan yang di istilahkan oleh Syaikh Abdul Ghani dengan "ru'yah bi al-'ilmi al-yaqin" (الرؤية بالعلم اليقين).
Syaikh Abdul Ghani juga memberikan peringatan agar pelaksanaaan "amar ma'ruf nahi munkar" jangan sampai menyebabkan pencemaran nama baik seseorang yang baru dicurigai sebagaimana terjadi dimedsos saat ini. Lantas Murabbī Rūhinā mengutip statemen:
لِأَجْلِ الجُهَّالِ كَثُرَ الخِلَافُ بَيْنَ النَّاسِ
وَلوْ سَكَتَ مَنْ لَايَدْرِيْ لَقَلَّ الخِلَافُ بَيْنَ الخَلْقِ
"Karena orang-orang dungulah terjadi banyak kontroversi di antara manusia. Seandainya orang-orang yang bodoh berhenti bicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama." (Imam al-Ghazali dalam kitab "Faishilut Tafriqah bainal Islâm wal Zindiqah")
Atau seperti ketika Gus Dur ditanya pendapatnya tentang pendapat-pendapat tokoh yang memperburuk kondisi sosial dengan jawaban khas beliau:
"Tahu apa mereka?"
Kesimpulan.
Pemegang kebijakan dan tokoh-tokoh yang membatu sosialisai kebijakan "amar ma'ruf nahi munkar" hendaklah orang-orang yang bijak agar kebijakan tersebut bisa efektif sementara sebagaimana diketahui oleh publik bahwa keributan dan kekacauan akibat implementasi tersebut di akibatkan oleh orang-orang bodoh yang turut menghakimi masalah.
Mari kita merenung kemudian bertindak dengan bimbingan ahli yang bijak bahkan kepada ahli yang telah bijak berstari (ārif billah).
Original Post :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=387461056137200&id=107571654126143